Sabtu, 08 Maret 2014

Kembang Kelon

Setelah meneguk minuman keras matanya memandang kosong, menangis di depan sang lukisan, menatapnya dengan penuh dosa. Bibirnya pucat, matanya berkunang-kunang dan kulitnya mendadak biru sebagian. Dan pintu kamarnya terbuka perlahan tenang mengintai pelan-pelan. Ada yang masuk dan menyentuh kulitnya terasa kurang sopan, menawarkan hembusan nafas meraih lehernya. Pipinya tertekan dan ia sangat menerima walaupun tanpa nurani.



Dibukakan identitas tanpa akal. ia memberontak tapi semakin mencekam. Tiba-tiba ada yang berjalan dan berlarian di antara bukit hingga menyusuri daerah sawah tempat ia dilahirkan lalu gelap semua. Imajinasinya brutal dalam lamunannya kemudian semuanya berhenti seketika.Tubuhnya menggguncang dan situasi mendadak kacau dalam dirinya. Kemudian ia terbangun menuju mata air untuk membangunkan kenyataan.

Apa yang terjadi adalah kebodohan. Ia memanggil tuhannya namun pakaiannya sudah tercampur warna merah dan hitam itu telah pergi dengan membayar semua.

Seorang Senja

Sore ini ia merenung dikala senja tidak menyapanya. Ia sangat murung ketika senandung mendung melintas di angkasa sore, diikuti pasukan gerimis hujan yang siap menghujam tanah. Dalam hatinya ia cemas dan keraguan menghadapinya seakan senja telah ingkar dari janji sorenya.

Ia selayak manusia dari golongan orang-orang rapuh dan selalu memiliki harapan semesta akan senja. Andaikata sang senja tidak ingkar, mungkin ia akan bisa tersenyum lebar sebelum malam datang. Padahal ia telah menyiapkan ekspresi pertemuan secara istimewa kepadanya, tapi bagaimanapun keinginannya selalu menyebar dicelah kulit tubuhnya.

Saat malam pun  ia sering merasa kehilangan sesuatu yang hebat seolah hitam telah merampas jingganya, mungkin begitulah perasaan yang ia alami, perasaan yang membuatnya tidak pernah melupakan senja. Maka dalam khayalannya ia mengibaratkan senja adalah wajah sang kekasih yang bisa memberikan kasih sayang jingga kepadanya. Seakan ia merasa tenang tanpa mata tertutup dan melupakan kehidupan duniawinya.
Hal tersebut membuatnya sangat membenci senandung mendung, karena peristiwa kebahagiaannya telah direngut oleh keadaan abu-abu


Kumpulan kecemasan akan kedatangan senjanya sangat begitu terlihat dari guratan wajah dan pandangannya ketika merasakan cahaya sang mentari. Selalu saja ia tertegun, terdiam dan terpaku dalam lamunannya yang orang lain pun tidak pernah memikirkannya dan sangat jauh dari nalar dan pikiran yang logis dalam ilmu pengetahuan. menataplah ia dengan pandangan yang tajam kepada sang mentari. Ia selalu meminta kedatangan senja dengan guguran air mata kepada sang Mentari.

Tidak ada yang bisa merubah keinginannya akan senja, rasa rindunya selalu menghampiri hari-harinya, dan perlahan-lahan ia mulai belajar untuk setia menunggu senja dan ketulusan hatinya dikala senjanya pergi oleh kedatangan gelap malam.

Batu Membatu


Datang sebentar....
Pergi....
Menyapapun tak ada segannya
Melihat sebatang hidungku pun tak mau juga

Aku memeras otakku
Seakan-akan aku berubah bentuk menjadi sebuah batu di bola matanya
Batu yang tidak diharapkan keadannya
Aku ada ataupun tidak, sama saja bagimu

Aku tidak beranjak untuk menjadi batu
Tapi aku juga belajar menguatkan hatiku selayaknya batu
belajar menjadi batu yang keras untuk mengejarmu
Dan batu sewajarnya tidak mudah rapuh

selayaknya batu, memang kamulah batu
ketika anganku dan hatimu membatu
semesta pun juga terpaksa menjadi batu
dan takkan pernah ada harapan untuk sang batu