Sore ini ia merenung dikala senja tidak menyapanya. Ia sangat murung
ketika senandung mendung melintas di angkasa sore, diikuti pasukan
gerimis hujan yang siap menghujam tanah. Dalam hatinya ia cemas dan keraguan menghadapinya seakan senja telah ingkar dari janji sorenya.
Ia selayak manusia dari golongan orang-orang rapuh dan selalu memiliki
harapan semesta akan senja. Andaikata sang senja tidak ingkar, mungkin
ia akan bisa tersenyum lebar sebelum malam datang. Padahal ia telah menyiapkan ekspresi pertemuan secara istimewa
kepadanya, tapi bagaimanapun keinginannya selalu menyebar dicelah kulit
tubuhnya.
Saat malam pun ia sering merasa kehilangan sesuatu yang hebat seolah
hitam telah merampas jingganya, mungkin begitulah perasaan yang ia
alami, perasaan yang membuatnya tidak pernah melupakan senja. Maka dalam
khayalannya ia mengibaratkan senja adalah wajah sang kekasih yang bisa
memberikan kasih sayang jingga kepadanya. Seakan ia merasa tenang tanpa
mata tertutup dan melupakan kehidupan duniawinya.
Hal tersebut membuatnya sangat membenci senandung mendung, karena peristiwa kebahagiaannya telah direngut oleh keadaan abu-abu
Kumpulan kecemasan akan kedatangan senjanya sangat begitu terlihat dari
guratan wajah dan pandangannya ketika merasakan cahaya sang mentari.
Selalu saja ia tertegun, terdiam dan terpaku dalam lamunannya yang orang
lain pun tidak pernah memikirkannya dan sangat jauh dari nalar dan
pikiran yang logis dalam ilmu pengetahuan. menataplah ia dengan
pandangan yang tajam kepada sang mentari. Ia selalu meminta kedatangan
senja dengan guguran air mata kepada sang Mentari.
Tidak ada yang bisa merubah keinginannya akan senja, rasa rindunya
selalu menghampiri hari-harinya, dan perlahan-lahan ia mulai belajar
untuk setia menunggu senja dan ketulusan hatinya dikala senjanya pergi
oleh kedatangan gelap malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar